Jumat, 06 Mei 2011

Masih Bertahan Walau Senja

Yang Hampir Punah
Mbah Karto bersimpuh di teras rumahnya, kawasan Pandes,Panggungharjo, Sewon, Bantul. Disekitarnya,berserak bilah-bilah bambu sepanjang 30 sentimeter. Kardus bekas yang dibeli dari toko kelontong, tertata tak rapi di sandingnya. Benang kenur, jarum, pisau, serta gunting, siap sedia di sela punggung dan dinding rumahnya.
Tangannya trengginas memotong kardus dengan gunting usangnya. Hasilnya menyerupai tokoh pewayangan. Saya sempat terbelalak. Ia menggunting kardus itu tanpa sketsa. Wayang dari kardus sudah terbentuk.
Setelah itu, ia mulai membelah satu bilah bambu. Sekitar 10 sentimeter saja.Belahan itu digunakan untuk menjepit wayang tadi. Belum usai,ia menjahit kardus itu dengan benang kenur. Matanya tak mampu memasukkan ujung benang melalui lubang jarum. Sang cucu yang masih TK nol kecil, menawarkan diri membantunya. Benang sudah menjadi kesatuan dengan jarum. Mbah Karto mulai menjahit wayang-wayangan itu agar menyatu dengan bambu.
Proses akhirnya, Mbah Karto harus menggambar wayang kardus. Agar wayang itu mirip aslinya. Sayang, ibu 8 anak itu tak bisa menggambar. Untungnya ada anak pertamanya, Katiyem. Ia yang membantu Mbah Karto menggambar pada wayang kardus. Dengan bamboo yang ujungnya runcing, Katiyem menggoreskan nopal -pewarna- pada wayang kardus.

Mbah Karto

Sudah sejak bocah, Mbah Karto berkecimpung dalam kerajinan wayang-wayangan. Keterampilannya ia dapat dari orang tuanya. Saat muda, ia bersama suaminya sempat merantau di Purworejo guna menjual mainan tradisional. Rutin mereka lakukan pada bulan Ramadhan. Pulang kampung saat lebaran.
Sekarang ia sendiri. Suaminya telah lama menarik nafas penghabisan. Usia pun telah menginjak 96 tahun menurut Kartu Keluarga. “Satus seket. Wes tuwo,Mas”, jawab Mbah Karto saat saya bertanya usianya.
Mbah Karto tak kuat lagi berkeliling. Kakinya sudah tak kuasa menapak jauh, berjualan mainan hasil karyanya. Ia hanya membuat. Tetangga-tetangga mendatanginya,  membeli mainan tradisional untuk dijual lagi.
Dari tangannya,ia melepas wayang-wayangan seharga Rp. 600,00 per biji. Biasanya, tetangga membeli sekitar 50 pieces. Namun, pembelian itu tak berlangsung tiap hari. Kadang seminggu,kadang lebih.
Dulu hasil penjualannya bisa untuk hidup sehari-hari. Tidak bila dibawa pada kehidupan era ini. Terlibas perkembangan teknologi dari mainan modern.
Mbah Karto, wanita senja pembuat wayang-wayangan. Keterampilan itu tak bisa mengisi perutnya lagi. Kenapa masih bertahan? “Ben ora ilang,Mas, budaya pewayangane”, pungkas simbah 5 cucu itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar