Kamis, 17 November 2011

Irama Hidup Irama Budaya


Pementasan Ludruk Irama Budaya

Sanggar ludruk itu berdiri tahun 80-an. Berdiri karena alasan keabadian. Tak mau seni budaya khas Jawa Timur ini lebur. Sanggar ludruk itu, Irama Budaya.
            15 Januari 2011, saya menyambangi kota Pahlawan,Surabaya. Komplek THR (Taman Hiburan Rakyat) setempat tujuannya. Disana Irama Budaya akan menampilkan kebolehannya. Di satu gedung di sudut komplek itu. Untuk masuk dan menonton, saya merogoh kocek sebesar lima ribu rupiah. Sekedar retribusi pagelaran. Harga yang menurut saya murah.
            Gedung itu jauh dari mewah. Luas memang, sekitar 7 meter persegi. Namun tak gemerlapan lampu kristal. Cahayanya remang. Dua lampu neon saja untuk ruang seluas itu. Ada kurang lebih seratus kursi penonton. Beberapa sampul busanya sobek, usang. Yang akan jadi pusat perhatian penonton, panggung setinggi 50 cm di atas lantai. Dari papan kayu. Lampunya kuning remang.Temaram.
            Jam 8 malam. Kursi penonton belum padat. Baru dua saja terisi. Saya dan rekan saya, Mahesa. Saya melangkah ke belakang panggung. Mahesa saya tinggalkan bersama barang bawaan di areal penonton. Biar ia beristirahat dulu.
            Di belakang panggung, saya melihat dua-tiga orang berias diri. Mereka pemain ludruk. Semakin ke dalam, saya bertemu Sholeh. Satu punggawa ludruk Irama Budaya. Ia sedang bersolek di depan meja rias. Tak sendiri, dibantu satu orang rekannya. Sebelum ini, saya sempat mengenalnya 8 bulan lalu. Saat irama Budaya masih pentas di gedung Pulo, Wonokromo.
            “Kok pindah sini, Mas?” tanya saya sembari menawarkan jabat tangan.
            “Sewa gedung (di Pulo) udah habis,” jawab Sholeh. Ia membalas jabat tangan saya.
            “Kenapa milih di sini?”
            “Biaya sewa di sana mahal. Sejuta dua ratus sebulannya,” jawab pria 20 tahun itu terus terang.”Sedangkan di sini nggak dipungut uang sewa. Cuma biaya operasional aja.”
            Saya langsung menghitung. Kapasitas gedung di Pulo cukup memuat 120 orang. Dengan harga tiket lima ribu rupiah, uang sewa gedung itu tidak murah. Mengingat mereka hanya pentas seminggu sekali. Dengan asumsi setiap pertunjukan tiket habis terjual, mereka hanya mendapatkan Rp.2.400.000,00 per bulan. Belum biaya operasional,gaji pemain, dan lainnya.

Bermain Dalam Lakon

            
             Jam 9 malam tepat, pementasan di mulai. Saya kembali ke bangku penonton. Saya pilih deret paling belakang. Biar lebar panggung nampak seutuhnya. Belum juga penuh barisan bangku penonton. Kira-kira baru dua puluh kursi terisi. Masih nampak lengang. Tepat di depan panggung, para pemain gamelan sudah bersiap dengan perantinya. Sederhana. Namun,jadi bagian penting dari pertunjukan ini.
            Seakan tak peduli sepinya penonton, pertunjukan digelar. Gamelan dimainkan. Satu demi satu pemain naik panggung. Busananya ala noni Belanda.  Genap sudah sembilan orang di atas panggung. Satu berdendang,  yang lain gemulai menari. Itu mereka lakukan bergantian. Kadang,mereka bernyanyi bersama. Suaranya melengking. Sekilas, tak nampak mereka semua lelaki.
            “Inilah dia, Irama Budaya dengan lakon Pesugihan Wewe Putih. Selamat menyaksikan.” Suara narator yang tak nampak wujudnya. Suara itu terdengar dari pengeras suara.
Kurden panggung terbuka. Lambat tergulung ke atas, irama gamelan mengiringi. Lakon dimulai. Tampak empat pria di atas panggung. Dua diantaranya berbusana wanita Jawa, salah satunya Sholeh. Mereka bercakap Jawa Timur-an, bahasa Jawa yang saya, juga Mahesa, tidak mengerti maksudnya. Penonton yang paham, mereka tertawa terbahak. Bahkan terpingkal-pingkal.
Lakon malam itu, Pesugihan Wewe Putih. Cerita tentang keluarga miskin di pedalaman Jawa Timur. Si bapak ingin hidupnya berubah. Tanpa pikir panjang, ia mengabdikan dirinya pada setan (Wewe Putih). Singkat cerita, si bapak pungkas hidupnya tidak wajar. Kena adhab Ilahi.
***
       
            Sakiya duduk tepat di pintu masuk gedung pertunjukan. Pandangannya tertuju pada tiap orang yang melintas. Matanya tajam. Bukan maksud apa-apa. Itu memang pembawaannya.
            “Saya mulai menekuni ludruk sejak remaja,” kisahnya dalam Jawa. “Waktu itu saya gelisah melihat ludruk Surabaya kembang-kempis.” Saat itu, mulai Sakiya memanggil memori masa lalunya.
            Kira-kira 20 tahun lalu, Sakiya dan kawan-kawannya membentuk Irama Budaya. Awalnya dengan nobong (ngamen keliling). Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain. “Biasanya saya pindah tiap 6 bulan sekali dari daerah satu ke daerah yang lainya di kota Surabaya,” Sakiya menyulut rokok.
“Seharusnya, ludruk ini diprogramkan untuk mendapat dana pengembangan dari pemerintah,” lanjut Sakiya. Deru asap berhembus dari mulut dan hidungnya. Dari kacamata ketua Irama Budaya ini, pemerintah kurang peduli dengan ludruk. Perhatian pemerintah berkutat pada kesenian modern saja. “Jangankan memberi dana, melihat pertunjukan kami saja mereka tidak mau”, tutur pria yang akrab dipanggil Mak Yah ini.

Tiket Masuk

Irama budaya berdiri sendiri. Tak mau terus menanti uluran tangan pemerintah, yang tak kian datang. Memang, sesekali Sakiya mengajukan proposal ke Sub Dinas Kebudayaan kota Surabaya. Pernah juga Ia memohon bantuan dana ke Dinas Pariwisata Jawa Timur. Namun harapan itu jarang berbalas. Jarang sekali dana cair. Untuk menanggulanginya, sering kali Sakiyah memakai uang pribadi. Utamanya untuk pagelaran besar, seperti peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, Lebaran, juga peringatan 1 Muharam.
            Ludruk, tulang punggung ekonomi Sakiya. Tak bisa dibilang cukup, tapi terpaksa cukup. Dari ludruk, ia dan kawan-kawan hanya bisa membeli rokok dan makan sehari-hari. “Kalau untuk makan biasanya teman-teman anggota urunan (patungan) dan masak bersama di Gedung Ludruk Irama Budaya ini,” Sakiya masih menikmati  rokoknya.”Ini kami lakukan untuk melestarikan ludruk di Surabaya.”
            “Pokoknya saya tidak rela kalau ludruk di Surabaya hilang!” terang Sakiya. Semangatnya menggelora. Sakiya dan Irama Budaya, akan senantiasa berdiri mempertahankan kesenian ini. Bertahan dari arus modernisasi, yang kian lama kian deras. “Andaikata pemerintah tidak mau menjaga keberadaan ludruk, biarlah kami (Irama Budaya) akan menjaga, melestarikan, serta mengembangkan ludruk di Jawa Timur ini.”
            “Tekad saya sudah kuat. Untuk memelihara ludruk Surabaya ini agar tidak mati,” tuturnya penuh semangat. Api rokoknya perlahan padam.
           
Bersolek

Lengang
           
           

Jumat, 06 Mei 2011

Masih Bertahan Walau Senja

Yang Hampir Punah
Mbah Karto bersimpuh di teras rumahnya, kawasan Pandes,Panggungharjo, Sewon, Bantul. Disekitarnya,berserak bilah-bilah bambu sepanjang 30 sentimeter. Kardus bekas yang dibeli dari toko kelontong, tertata tak rapi di sandingnya. Benang kenur, jarum, pisau, serta gunting, siap sedia di sela punggung dan dinding rumahnya.
Tangannya trengginas memotong kardus dengan gunting usangnya. Hasilnya menyerupai tokoh pewayangan. Saya sempat terbelalak. Ia menggunting kardus itu tanpa sketsa. Wayang dari kardus sudah terbentuk.
Setelah itu, ia mulai membelah satu bilah bambu. Sekitar 10 sentimeter saja.Belahan itu digunakan untuk menjepit wayang tadi. Belum usai,ia menjahit kardus itu dengan benang kenur. Matanya tak mampu memasukkan ujung benang melalui lubang jarum. Sang cucu yang masih TK nol kecil, menawarkan diri membantunya. Benang sudah menjadi kesatuan dengan jarum. Mbah Karto mulai menjahit wayang-wayangan itu agar menyatu dengan bambu.
Proses akhirnya, Mbah Karto harus menggambar wayang kardus. Agar wayang itu mirip aslinya. Sayang, ibu 8 anak itu tak bisa menggambar. Untungnya ada anak pertamanya, Katiyem. Ia yang membantu Mbah Karto menggambar pada wayang kardus. Dengan bamboo yang ujungnya runcing, Katiyem menggoreskan nopal -pewarna- pada wayang kardus.

Mbah Karto

Sudah sejak bocah, Mbah Karto berkecimpung dalam kerajinan wayang-wayangan. Keterampilannya ia dapat dari orang tuanya. Saat muda, ia bersama suaminya sempat merantau di Purworejo guna menjual mainan tradisional. Rutin mereka lakukan pada bulan Ramadhan. Pulang kampung saat lebaran.
Sekarang ia sendiri. Suaminya telah lama menarik nafas penghabisan. Usia pun telah menginjak 96 tahun menurut Kartu Keluarga. “Satus seket. Wes tuwo,Mas”, jawab Mbah Karto saat saya bertanya usianya.
Mbah Karto tak kuat lagi berkeliling. Kakinya sudah tak kuasa menapak jauh, berjualan mainan hasil karyanya. Ia hanya membuat. Tetangga-tetangga mendatanginya,  membeli mainan tradisional untuk dijual lagi.
Dari tangannya,ia melepas wayang-wayangan seharga Rp. 600,00 per biji. Biasanya, tetangga membeli sekitar 50 pieces. Namun, pembelian itu tak berlangsung tiap hari. Kadang seminggu,kadang lebih.
Dulu hasil penjualannya bisa untuk hidup sehari-hari. Tidak bila dibawa pada kehidupan era ini. Terlibas perkembangan teknologi dari mainan modern.
Mbah Karto, wanita senja pembuat wayang-wayangan. Keterampilan itu tak bisa mengisi perutnya lagi. Kenapa masih bertahan? “Ben ora ilang,Mas, budaya pewayangane”, pungkas simbah 5 cucu itu.