Minggu, 06 Juni 2010

Pasukan Sulfatra Kawah Ijen





















Jam enam pagi 20 agustus 2009, Sengkoni bersandar pada tembok pagar Pt. Candi Ngrimbi, pabrik pengolahan belerang di Banyuwangi. Jaket kulit hitam membalut badannya. Kedua tangannya dilipatkan di depan dada. Asap keluar lewat mulut,walaupun ia tidak sedang merokok. Bersandar dan kadang merokok, menuggu truk pengangkut belerang siap meluncur, menuju salah satu tambang terbesar dunia, Kawah Ijen.


Dua puluh menit kemudian, truk kuning siap membawa Sengkoni dan teman-temannya menuju Paltuding. Paltuding, kawasan dimana Kawah Ijen berada. Para penambang menyebutnya Pos Satu, karena pendakian menuju Kawah Ijen bermula di sana.

Para penambang bersiap, begitu pula Sengkoni. Dari tandu yang ujung – ujungnya berkantong anyaman bambu, hingga sejenis palu berujung runcing. Peralatan siap, ia pun berlalu dari Pos Satu. Jaket kulitnya ia lepas, diletakkan di salah satu kantong tandunya.

Pria 32 tahun itu berdiri didepan gerbang selamat datang. Kakinya siap melangkahi jalan tanah berpasir. Jalan berliku, kadang menanjak kadang ndronjong. Jalan sejauh empat kilometer tak membuat hatinya ciut. Perjalanan hingga puncak memakan waktu sekitar satu jam.

Dari puncak, panorama kubangan hijau tousqa mencuri perhatiannya. Kubangan itu tak ubahnya danau berdiameter satu kilometer. Di pesisir danau dengan keasaman yang cukup untuk melarutkan pakaian itu, terhampar belerang yang menghidupi Sengkoni dan teman- teman penambangnya. Di puncak itu Pos Dua berada. Pos Dua adalah tempat dimana penambang menimbang berat belerang yang telah mereka dapatkan nantinya. Di puncak itu juga ada kantin untuk penambang singgah, santai sejenak sambil bercengkrama.

Perjalanan belum selesai sampai di puncak. Hamparan belerang yang membuat dapurnya tetap mengepul, mengharuskan Koni, panggilan akrab Sengkoni, menuruni jalan berbatu selebar dua meter. Tiga kilometer jauhnya. Langkahnya hati- hati, sesekali berhenti sekedar menyeka kringat yang sedari tadi membasahi dahinya. Seteguk air putih serasa cukup menghilangkan dahaganya. Bila bertemu sesama penambang, Sengkoni tak rancu untu menegur.
Sampai di pesisir danau, bukit kuning yang mengeluarkan asap abu-abu itu berada di depannya. Asap itu memaksanya menutup hidung dengan kain yang sudah ia siapkan. Kain itu ia basahi dengan air minumnya, lalu ia gigit. Cara itu dianggap bisa mengurangi sesak saat bergelut di bukit berisi larutan belerang itu.

Dengan palu berujung runcing, Koni memukul dinding bukit itu. Beberapa hantaman keras sanggup membuat lubang. Lubang itu menjadi pintu keluar cairan belerang dari perut bukit. Tak perlu menunggu lama, cairan itu berubah menjadi belerang padat. Beberapa kali Koni menghantamkan palu ke dinding dan memadatkan cairan belerang. Setelah satu jam, tandu yang ia pikul dari Pos Satu itu penuh belerang padat.

Tak berapa lama, Koni kembali di Pos Dua. Lima penambang lebih dulu sampai untuk menimbang belerang mereka. Mengantri karena timbangan disana hanya satu. Koni menimbang belerangnya. Tuas seimbang saat bandul timbangan berhenti di angka enam puluh. Berarti belerang Koni seberat enam puluh kilogram. Satu petugas di Pos Dua memberi Koni kupon. Kupon itu menerangkan berapa berat belerang yang di angkut masing – masing penambang. Kupon itu juga memberi gambaran berapa rupiah yang mereka dapatkan setelah menukar belerang di Pos Satu.

Merasa cukup, belerang itu ia pikul kembali ke Pos Satu. Menerka berapa belerang yang ia pikul itu dihargai mandor di Pos Satu. Per kilogramnya, belerang dihargai enam ratus rupiah. Paling tidak Koni bisa membawa pulang Rp. 36.000,00.

Jalan yang dilalui saat kembali sama dengan saat ia berangkat. Tanah berpasir sejauh empat kilometer. Namun beban yang ia pikul bertambah berat. Jaket hitam dan alat yang ia butuhkan untuk bekerja, ditambah belerang padat seberat enam puluh kilogram. Jalannya semakin gontai. Entah lelah macam apa yang Koni rasakan. Untuk orang umum, memikul beban seberat itu dalam kondisi diam sudah sangat menyiksa, apalagi Koni membawanya melintas jalan berliku. Pun upahnya tak sebanding dengan keringat,memar di pundak, dan otot-otot yang menegang.

Realita tak bisa dipungkiri. Bagi Koni apa lagi yang bisa dilakukan lulusan SMP seperti dirinya. Lapangan kerja sempit, bila ada paling tidak lulusan SMA yang dibutuhkan. Hidup sebagai penambang adalah pilihannya. Pilihan yang muncul karena tersudut tututan zaman.

Jumat, 04 Juni 2010

Tak Lekang Oleh Masa



























Berempat berpakaian penari jawa bercorak
dasar hitam. Muka dirias coreng moreng, keseluruhan wajah dicat dominan merah. Tiga dari mereka menari di atas zebra cross saat lampu lalu lintas berubah merah, satu orang mengiringi dengan tabuhan kendang dan gong ukuran mini dari pinggir jalan.

Di kampung, tarian tadi disebut tari Kuda Lumping. Wahyudi (32) warga Desa Bojonegoro, Kecamatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Wahyudi dan rekan sekampung hidup dari tanggapan masyarakat sekitar untuk meramaikan acara-acara selamatan. Langen Bekso Kencono Mudo, sanggar seni tari tempat Wahyudi dan kawan-kawannya berkesenian dan hidup dari kesenian.Arus tren dan mode berubah cepat seiring gerak laju perkembangan zaman. Apresiasi masyarakat dalam menikmati kesenian pun ikut berubah. Belakangan tak banyak lagi warga yang mengundang Wahyudi dan kawan-kawannya. “Sekarang kita sudah jarang diminta mengisi acara. Jaman sudah berubah. Sedikit sekali yang minat dengan tarian daerah,” kata Wahyudi.

Kehidupan terus berjalan. Kebutuhan meningkat. Sanggar yang menjadi wadah dan sumber hidup dengan berkesenian jadi sepi. Agar kecintaan pada seni dan tanggung jawab pada keluarga dapat tetap berjalan seiring maka Wahyudi dan kawan-kawan memutuskan untuk mengamen di jalan Kota Jogjakarta. Bisa menambah penghasilan, hobi menari juga tersalur.

Mengamen di jalanan ternyata ada hasilnya bahkan melebihi yang bisa didapat Wahyudi dari menjadi buruh tani. Dalam sehari yang didapat mencapai 300 ribu rupiah. Itu kalau beruntung. Mereka memulainya sekira pukul delapan pagi hingga setengah lima sore. Tempat mangkalnya berpindah-pindah. Dari satu lampu merah ke lampu merah lainnya.

Meskipun lumayan tetapi bukan berarti tanpa masalah. Raut muka Wahyudi berubah geram. Ia ingat saat petugas Satuan Polisi Pamong Praja melakukan razia. Barang-barang dan peralatan menari disita. ”Kita bisa apa, Mas. Mau tidak mau harus kami berikan.”

Kejadian seperti ini memaksa mereka membeli peralatan baru. “Pernak - pernik kita lumayan mahal, Mas. Harga wig (rambut palsu) saja mencapai 90 ribu rupiah. Belum lagi kendang yang harganya 300 ribu rupiah. Cukup mahal bagi kami.” Bukan itu saja, kerja jadi tak tenang. Pikiran selalu khawatir razia datang tiba-tiba. “Kita susah waktu mengamen, mata harus mengawasi sana – sini. Takutnya ada razia SATPOL PP,” keluh Wahyudi.

Panas, lelah, kucing-kucingan dengan petugas. Lalu kenapa betah? “Kami sudah seneng sih, Mas,” kata Wahyudi. Kesenangannya ini sudah dilakoni hampir setahun. Bila senja tiba, mereka pulang ke sebuah kamar sewaan di daerah Giwangan. Mereka pulang ke kampung sekira satu kali dalam sepekan.

Wahyudi bukan mahasiswa jurusan seni tari. Ia pegiat tari tradisional sekaligus buruh tani. Bila diminta, ia menari dan menabuh kendang. Bila tidak, tak ada uang didapat. Sanggar pun tak bisa bergiat. Jika begitu, tarian yang selama hidup dijiwai sekaligus sumber penghasilan itu akan cuma terserak jadi pernik sejarah. Gong dan kendang juga jadi tumpukan usang. Sisa gema alunannya menjadi lagu pengiring kematian seni tradisi. Wahyudi adalah Simbol kekalahan budaya baik seni maupun ekonomi.