Kamis, 16 Desember 2010

Perhelatan 1 Suro Warga Selo


Larungan

    TARIAN ITU KEPRAJURITAN Soreng. Paguyuban Seni Budaya Mardi Santoso dari Dusun Tempursari, Lencoh memperagakannya. Pembuka upacara ritual sedekah gunung yang dilaksanakan setiap tahun pada 1 Muharam. Tujuh belas orang pelakunya. Coreng moreng merah – hitam meriasi wajah mereka. Kostum ala prajurit jawa dan tombak kayu menambah kesan garang.
    Acara berlangsung di Joglo Mandala I, Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Selasa, 7 Desember 2010, pukul 22.00. Ribuan warga memadati. Berpartisipasi dalam perayaan malam itu. Mereka percaya, pagelaran ini adalah satu sarana memohon keselamatan dan menolak kesialan. Tari-tarian dan tabuhan gamelan menambah meriah suasana.
     Bangunan itu menyerupai joglo. Terletak di pusat desa. Bentuknya persegi, sekitar 20 x 20 meter. Sisi - sisinya terbuka, mirip pendopo. 

Tari Keprajuritan Soreng

     Empat meja diletakkan di tengah gedung itu. Dua meja berhimpit di sisi panjangnya. Dimeja itu warga menaruh sesaji berupa tujuh gunungan nasi jagung dan dua nasi tumpeng berhias sayur-mayur. Tidak ketinggalan ingkung dari ayam kampung. Satu meja berukuran kecil tepat di depan dua meja itu. Tungku berisi arang menyala di atasnya. Satu meja di letakkan terpisah. Di belakang dua meja yang berhimpitan. Meja ini untuk menaruh sesaji utama, kepala kerbau.
     Di kiri - kanan meja sesaji, puluhan orang duduk di kursi yang disediakan. Beberapa memakai baju adat Jawa, lengkap dengan blangkon. Mereka adalah panitia acara itu. Ada juga wartawan dan warga sekitar yang ingin menonton lebih dekat. Mereka tidak berpakaian adat Jawa.
Sirahing Maeso

     Dari pentas seni budaya, berlanjut dengan bacaan khas ritual sedekah gunung. Bacaan ini berupa pembacaan kitab kidung dan do'a secara islam. Pembacaan kidung itu berbahasa Jawa kromo. Sedangkan do’a dipanjatkan dengan perpaduan Bahasa Jawa dan bait Al-Qur'an. Rangkaian acara ini dipimpin oleh tokoh yang dituakan oleh masyarakat. Hadirin khidmat. Mereka menengadahkan kedua tangan,sesekali mengamini.

Khidmat
 
     Pergantian hari menjelang. Pukul 24.00. Panitia bersiap. Beberapa berbaris rapi, beberapa mengangkat sesaji. Mirip arak - arakan, mereka meninggalkan joglo itu. Sesaji ditinggalkan disekitaran joglo. Ramai - ramai warga menyantap sesaji itu. Hanya sirahing maeso (kepala kerbau - red) yang terus dibawa. Butuh dua orang untuk nyunggi baki bermuatan kepala kerbau itu. Kira - kira sepuluh orang mengikuti arak - arakan itu. Lima diantaranya panitia sedekah gunung, sisanya warga dan wartawan. Tujuan mereka Pasar Bubar, 300 meter dari puncak Merapi. Sekiranya perlu tiga jam jalan kaki. Sampai ditempat tujuan, kepala kerbau itu dibenamkan dalam tanah. Usailah ritual sedekah gunung tahun ini.
     Ritual itu sejak lama membudaya. Satu artikel di laman regional.kompas.com 8 desember lalu menuliskan, ritual tersebut pertama dilakukan Pakubuwono IX tahun 1939. Ketika itu, Pakubuwono IX memberikan sesaji berupa hewan kerbau dan ageman (pakaian raja). Sesaji itu kemudian dilarungkan di puncak Merapi. Kebiasaan itu lalu diikuti oleh warga setempat hingga sekarang. Membudidaya dari generasi ke generasi, harap warga setempat.
Sang Penari
 

Selasa, 30 November 2010

Kali Code Meluap












































Senin (29/11), hujan deras di wilayah lereng Merapi mengakibatkan arus lahar dingin mengalir deras di kali Code. Aliran ini menyebabkan kali Code meluap ke rumah warga Gondolayu Lor, Cokrodiningratan, Jogjakarta.


Senin, 08 November 2010

Abu - abu di Kepuharjo

Kepuharjo mendadak penuh. Pasca Gunung Merapi meletus selasa 26 oktober 2010 lalu, 4 desa di Kelurahan Kepuharjo, yaitu Kaliadem, Jambu, Petung, dan Kopeng dievakuasi. 1074 penduduk dikumpulkan di Pos Pengungsian Kepuharjo. Pos itu di sebelah timur Golf Merapi. Luasnya sekitar 150 m x 80 m. Berdiri satu gedung permanen sebagai barak utama. Gedung itu dibangun pemerintah Kabupaten Sleman. Cukup untuk 400 orang. Gedung itu menghadap selatan. Di belakang, sepuluh bilik kamar mandi permanen dan tempat wudhu tersedia.

Kamis 28 oktober 2010, kapasitas gedung tidak cukup untuk semua pengungsi. Tim SAR dan POLRI yang bertanggungjawab atas pos itu mengambil tindakan. Delapan tenda berwarna oranye didirikan. Masing - masing tenda berukuran kurang lebih 15 meter x 5 meter. Cukup untuk menampung pengungsi yang tidak mendapat tempat di gedung utama.

Berita meletusnya Merapi menyebar cepat. Berbagai media baik Tv maupun cetak, ramai - ramai memberitakan gunung itu. Tak terkecuali tentang korban dan pengungsi. Termasuk di Kepuharjo. Dari berita itu, orang bersimpati. Bantuan berdatangan. Logistik, relawan, bahkan tenda.

Sabtu, 30 oktober 2010, pos itu dipenuhi tenda - tenda darurat. Setidaknya dua puluh dua tenda dan lima belas bilik kamar mandi darurat. Selain menampung pengungsi, tenda - tenda itu juga dipakai untuk berbagai kebutuhan. Dapur umum, posko kesehatan, pusat informasi, dan pos kesehatan. Semua disediakan untuk memenuhi kebutuhan pengungsi selama ada di Pos Kepuharjo. Makanan, air bersih, pakaian, hingga obat - obatan tersedia. Sukirno, pegawai Puskesmas Cangkringan yang ditugaskan di Posko Kepuharjo, mengaku kebutuhan pengungsi saat itu cukup. "Untuk obat - obatan dan logistik saat ini cukup mas.", tutur pria 168 cm itu. Setali tiga uang dengan Sukirno. Supranto, koordinator Pos Komando Lapangan di Pos Kepuharjo. "Semua kebutuhan pengungsi disini bisa dikatakan terjamin.", tegasnya. Bahkan untuk menghindari trauma bagi anak - anak, Supranto membentuk tim penghibur. Tim penghibur ini bertugas mengajak anak - anak bermain agar tidak bosan berada di pengungsian, sekaligus terapi mental bagi mereka. Pun perpustakaan keliling. Perpustakaan itu merupakan bantuan dari salah satu pertai politik di negeri ini. Perpustakaan keliling itu ramai dikunjungi anak - anak. Dilihat dari tawa mereka, perpustakaan keliling itu cukup menghibur.

Logistik cukup, tempat berteduh ada, hiburan ada, bagaimana dengan jaminan hidup mereka? Merapi masih berstatus awas. Belum bisa diperkirakan sampai kapan. Rasa was - was masih menghantui. "Kami cukup senang disini, cuma masih takut kalau-kalau Merapi batuk lagi.", kata Priyo, seorang pengungsi di Pos Kepuharjo. Pria 36 tahun itu mengaku sering ngelilir karena khawatir. Perasaan seperti itu juga dirasakan Purnomo. "Kebutuhan sih tercukupi. Tapi gimana kalau Merapi meletus lagi? Gimana kalau awan panasnya sampai sini? Kami harus kemana lagi?.", cetus ayah seorang anak berusia 7 tahun itu.

Kebutuhan tercukupi, bukan lega menjelang. Kondisi yang tak bisa diterka, jadi beban tersendiri. Merapi belum tenang. Seismograf menandakan gunung itu masih berstatus awas. Terlalu dini bagi pengungsi menanggalkan kewaspadaan. Terlalu cepat bagi aparat, tim SAR, dan relawan berleha-leha. Sabar dan tawakal adalah kunci. Bencana, ujian dari Sang Kholiq. Bencana akan tersudahi, bila saatnya nanti.

Minggu, 06 Juni 2010

Pasukan Sulfatra Kawah Ijen





















Jam enam pagi 20 agustus 2009, Sengkoni bersandar pada tembok pagar Pt. Candi Ngrimbi, pabrik pengolahan belerang di Banyuwangi. Jaket kulit hitam membalut badannya. Kedua tangannya dilipatkan di depan dada. Asap keluar lewat mulut,walaupun ia tidak sedang merokok. Bersandar dan kadang merokok, menuggu truk pengangkut belerang siap meluncur, menuju salah satu tambang terbesar dunia, Kawah Ijen.


Dua puluh menit kemudian, truk kuning siap membawa Sengkoni dan teman-temannya menuju Paltuding. Paltuding, kawasan dimana Kawah Ijen berada. Para penambang menyebutnya Pos Satu, karena pendakian menuju Kawah Ijen bermula di sana.

Para penambang bersiap, begitu pula Sengkoni. Dari tandu yang ujung – ujungnya berkantong anyaman bambu, hingga sejenis palu berujung runcing. Peralatan siap, ia pun berlalu dari Pos Satu. Jaket kulitnya ia lepas, diletakkan di salah satu kantong tandunya.

Pria 32 tahun itu berdiri didepan gerbang selamat datang. Kakinya siap melangkahi jalan tanah berpasir. Jalan berliku, kadang menanjak kadang ndronjong. Jalan sejauh empat kilometer tak membuat hatinya ciut. Perjalanan hingga puncak memakan waktu sekitar satu jam.

Dari puncak, panorama kubangan hijau tousqa mencuri perhatiannya. Kubangan itu tak ubahnya danau berdiameter satu kilometer. Di pesisir danau dengan keasaman yang cukup untuk melarutkan pakaian itu, terhampar belerang yang menghidupi Sengkoni dan teman- teman penambangnya. Di puncak itu Pos Dua berada. Pos Dua adalah tempat dimana penambang menimbang berat belerang yang telah mereka dapatkan nantinya. Di puncak itu juga ada kantin untuk penambang singgah, santai sejenak sambil bercengkrama.

Perjalanan belum selesai sampai di puncak. Hamparan belerang yang membuat dapurnya tetap mengepul, mengharuskan Koni, panggilan akrab Sengkoni, menuruni jalan berbatu selebar dua meter. Tiga kilometer jauhnya. Langkahnya hati- hati, sesekali berhenti sekedar menyeka kringat yang sedari tadi membasahi dahinya. Seteguk air putih serasa cukup menghilangkan dahaganya. Bila bertemu sesama penambang, Sengkoni tak rancu untu menegur.
Sampai di pesisir danau, bukit kuning yang mengeluarkan asap abu-abu itu berada di depannya. Asap itu memaksanya menutup hidung dengan kain yang sudah ia siapkan. Kain itu ia basahi dengan air minumnya, lalu ia gigit. Cara itu dianggap bisa mengurangi sesak saat bergelut di bukit berisi larutan belerang itu.

Dengan palu berujung runcing, Koni memukul dinding bukit itu. Beberapa hantaman keras sanggup membuat lubang. Lubang itu menjadi pintu keluar cairan belerang dari perut bukit. Tak perlu menunggu lama, cairan itu berubah menjadi belerang padat. Beberapa kali Koni menghantamkan palu ke dinding dan memadatkan cairan belerang. Setelah satu jam, tandu yang ia pikul dari Pos Satu itu penuh belerang padat.

Tak berapa lama, Koni kembali di Pos Dua. Lima penambang lebih dulu sampai untuk menimbang belerang mereka. Mengantri karena timbangan disana hanya satu. Koni menimbang belerangnya. Tuas seimbang saat bandul timbangan berhenti di angka enam puluh. Berarti belerang Koni seberat enam puluh kilogram. Satu petugas di Pos Dua memberi Koni kupon. Kupon itu menerangkan berapa berat belerang yang di angkut masing – masing penambang. Kupon itu juga memberi gambaran berapa rupiah yang mereka dapatkan setelah menukar belerang di Pos Satu.

Merasa cukup, belerang itu ia pikul kembali ke Pos Satu. Menerka berapa belerang yang ia pikul itu dihargai mandor di Pos Satu. Per kilogramnya, belerang dihargai enam ratus rupiah. Paling tidak Koni bisa membawa pulang Rp. 36.000,00.

Jalan yang dilalui saat kembali sama dengan saat ia berangkat. Tanah berpasir sejauh empat kilometer. Namun beban yang ia pikul bertambah berat. Jaket hitam dan alat yang ia butuhkan untuk bekerja, ditambah belerang padat seberat enam puluh kilogram. Jalannya semakin gontai. Entah lelah macam apa yang Koni rasakan. Untuk orang umum, memikul beban seberat itu dalam kondisi diam sudah sangat menyiksa, apalagi Koni membawanya melintas jalan berliku. Pun upahnya tak sebanding dengan keringat,memar di pundak, dan otot-otot yang menegang.

Realita tak bisa dipungkiri. Bagi Koni apa lagi yang bisa dilakukan lulusan SMP seperti dirinya. Lapangan kerja sempit, bila ada paling tidak lulusan SMA yang dibutuhkan. Hidup sebagai penambang adalah pilihannya. Pilihan yang muncul karena tersudut tututan zaman.

Jumat, 04 Juni 2010

Tak Lekang Oleh Masa



























Berempat berpakaian penari jawa bercorak
dasar hitam. Muka dirias coreng moreng, keseluruhan wajah dicat dominan merah. Tiga dari mereka menari di atas zebra cross saat lampu lalu lintas berubah merah, satu orang mengiringi dengan tabuhan kendang dan gong ukuran mini dari pinggir jalan.

Di kampung, tarian tadi disebut tari Kuda Lumping. Wahyudi (32) warga Desa Bojonegoro, Kecamatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Wahyudi dan rekan sekampung hidup dari tanggapan masyarakat sekitar untuk meramaikan acara-acara selamatan. Langen Bekso Kencono Mudo, sanggar seni tari tempat Wahyudi dan kawan-kawannya berkesenian dan hidup dari kesenian.Arus tren dan mode berubah cepat seiring gerak laju perkembangan zaman. Apresiasi masyarakat dalam menikmati kesenian pun ikut berubah. Belakangan tak banyak lagi warga yang mengundang Wahyudi dan kawan-kawannya. “Sekarang kita sudah jarang diminta mengisi acara. Jaman sudah berubah. Sedikit sekali yang minat dengan tarian daerah,” kata Wahyudi.

Kehidupan terus berjalan. Kebutuhan meningkat. Sanggar yang menjadi wadah dan sumber hidup dengan berkesenian jadi sepi. Agar kecintaan pada seni dan tanggung jawab pada keluarga dapat tetap berjalan seiring maka Wahyudi dan kawan-kawan memutuskan untuk mengamen di jalan Kota Jogjakarta. Bisa menambah penghasilan, hobi menari juga tersalur.

Mengamen di jalanan ternyata ada hasilnya bahkan melebihi yang bisa didapat Wahyudi dari menjadi buruh tani. Dalam sehari yang didapat mencapai 300 ribu rupiah. Itu kalau beruntung. Mereka memulainya sekira pukul delapan pagi hingga setengah lima sore. Tempat mangkalnya berpindah-pindah. Dari satu lampu merah ke lampu merah lainnya.

Meskipun lumayan tetapi bukan berarti tanpa masalah. Raut muka Wahyudi berubah geram. Ia ingat saat petugas Satuan Polisi Pamong Praja melakukan razia. Barang-barang dan peralatan menari disita. ”Kita bisa apa, Mas. Mau tidak mau harus kami berikan.”

Kejadian seperti ini memaksa mereka membeli peralatan baru. “Pernak - pernik kita lumayan mahal, Mas. Harga wig (rambut palsu) saja mencapai 90 ribu rupiah. Belum lagi kendang yang harganya 300 ribu rupiah. Cukup mahal bagi kami.” Bukan itu saja, kerja jadi tak tenang. Pikiran selalu khawatir razia datang tiba-tiba. “Kita susah waktu mengamen, mata harus mengawasi sana – sini. Takutnya ada razia SATPOL PP,” keluh Wahyudi.

Panas, lelah, kucing-kucingan dengan petugas. Lalu kenapa betah? “Kami sudah seneng sih, Mas,” kata Wahyudi. Kesenangannya ini sudah dilakoni hampir setahun. Bila senja tiba, mereka pulang ke sebuah kamar sewaan di daerah Giwangan. Mereka pulang ke kampung sekira satu kali dalam sepekan.

Wahyudi bukan mahasiswa jurusan seni tari. Ia pegiat tari tradisional sekaligus buruh tani. Bila diminta, ia menari dan menabuh kendang. Bila tidak, tak ada uang didapat. Sanggar pun tak bisa bergiat. Jika begitu, tarian yang selama hidup dijiwai sekaligus sumber penghasilan itu akan cuma terserak jadi pernik sejarah. Gong dan kendang juga jadi tumpukan usang. Sisa gema alunannya menjadi lagu pengiring kematian seni tradisi. Wahyudi adalah Simbol kekalahan budaya baik seni maupun ekonomi.