Jumat, 04 Juni 2010

Tak Lekang Oleh Masa



























Berempat berpakaian penari jawa bercorak
dasar hitam. Muka dirias coreng moreng, keseluruhan wajah dicat dominan merah. Tiga dari mereka menari di atas zebra cross saat lampu lalu lintas berubah merah, satu orang mengiringi dengan tabuhan kendang dan gong ukuran mini dari pinggir jalan.

Di kampung, tarian tadi disebut tari Kuda Lumping. Wahyudi (32) warga Desa Bojonegoro, Kecamatan Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Wahyudi dan rekan sekampung hidup dari tanggapan masyarakat sekitar untuk meramaikan acara-acara selamatan. Langen Bekso Kencono Mudo, sanggar seni tari tempat Wahyudi dan kawan-kawannya berkesenian dan hidup dari kesenian.Arus tren dan mode berubah cepat seiring gerak laju perkembangan zaman. Apresiasi masyarakat dalam menikmati kesenian pun ikut berubah. Belakangan tak banyak lagi warga yang mengundang Wahyudi dan kawan-kawannya. “Sekarang kita sudah jarang diminta mengisi acara. Jaman sudah berubah. Sedikit sekali yang minat dengan tarian daerah,” kata Wahyudi.

Kehidupan terus berjalan. Kebutuhan meningkat. Sanggar yang menjadi wadah dan sumber hidup dengan berkesenian jadi sepi. Agar kecintaan pada seni dan tanggung jawab pada keluarga dapat tetap berjalan seiring maka Wahyudi dan kawan-kawan memutuskan untuk mengamen di jalan Kota Jogjakarta. Bisa menambah penghasilan, hobi menari juga tersalur.

Mengamen di jalanan ternyata ada hasilnya bahkan melebihi yang bisa didapat Wahyudi dari menjadi buruh tani. Dalam sehari yang didapat mencapai 300 ribu rupiah. Itu kalau beruntung. Mereka memulainya sekira pukul delapan pagi hingga setengah lima sore. Tempat mangkalnya berpindah-pindah. Dari satu lampu merah ke lampu merah lainnya.

Meskipun lumayan tetapi bukan berarti tanpa masalah. Raut muka Wahyudi berubah geram. Ia ingat saat petugas Satuan Polisi Pamong Praja melakukan razia. Barang-barang dan peralatan menari disita. ”Kita bisa apa, Mas. Mau tidak mau harus kami berikan.”

Kejadian seperti ini memaksa mereka membeli peralatan baru. “Pernak - pernik kita lumayan mahal, Mas. Harga wig (rambut palsu) saja mencapai 90 ribu rupiah. Belum lagi kendang yang harganya 300 ribu rupiah. Cukup mahal bagi kami.” Bukan itu saja, kerja jadi tak tenang. Pikiran selalu khawatir razia datang tiba-tiba. “Kita susah waktu mengamen, mata harus mengawasi sana – sini. Takutnya ada razia SATPOL PP,” keluh Wahyudi.

Panas, lelah, kucing-kucingan dengan petugas. Lalu kenapa betah? “Kami sudah seneng sih, Mas,” kata Wahyudi. Kesenangannya ini sudah dilakoni hampir setahun. Bila senja tiba, mereka pulang ke sebuah kamar sewaan di daerah Giwangan. Mereka pulang ke kampung sekira satu kali dalam sepekan.

Wahyudi bukan mahasiswa jurusan seni tari. Ia pegiat tari tradisional sekaligus buruh tani. Bila diminta, ia menari dan menabuh kendang. Bila tidak, tak ada uang didapat. Sanggar pun tak bisa bergiat. Jika begitu, tarian yang selama hidup dijiwai sekaligus sumber penghasilan itu akan cuma terserak jadi pernik sejarah. Gong dan kendang juga jadi tumpukan usang. Sisa gema alunannya menjadi lagu pengiring kematian seni tradisi. Wahyudi adalah Simbol kekalahan budaya baik seni maupun ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar