Pementasan Ludruk Irama Budaya |
Sanggar
ludruk itu berdiri tahun 80-an. Berdiri karena alasan keabadian. Tak mau seni
budaya khas Jawa Timur ini lebur. Sanggar ludruk itu, Irama Budaya.
15 Januari 2011, saya menyambangi kota
Pahlawan,Surabaya. Komplek THR (Taman Hiburan Rakyat) setempat tujuannya.
Disana Irama Budaya akan menampilkan kebolehannya. Di satu gedung di sudut
komplek itu. Untuk masuk dan menonton, saya merogoh kocek sebesar lima ribu
rupiah. Sekedar retribusi pagelaran. Harga yang menurut saya murah.
Gedung itu jauh dari mewah. Luas
memang, sekitar 7 meter persegi. Namun tak gemerlapan lampu kristal. Cahayanya
remang. Dua lampu neon saja untuk ruang seluas itu. Ada kurang lebih seratus
kursi penonton. Beberapa sampul busanya sobek, usang. Yang akan jadi pusat
perhatian penonton, panggung setinggi 50 cm di atas lantai. Dari papan kayu.
Lampunya kuning remang.Temaram.
Jam 8 malam. Kursi penonton belum
padat. Baru dua saja terisi. Saya dan rekan saya, Mahesa. Saya melangkah ke
belakang panggung. Mahesa saya tinggalkan bersama barang bawaan di areal
penonton. Biar ia beristirahat dulu.
Di belakang panggung, saya melihat
dua-tiga orang berias diri. Mereka pemain ludruk. Semakin ke dalam, saya
bertemu Sholeh. Satu punggawa ludruk Irama Budaya. Ia sedang bersolek di depan
meja rias. Tak sendiri, dibantu satu orang rekannya. Sebelum ini, saya sempat
mengenalnya 8 bulan lalu. Saat irama Budaya masih pentas di gedung Pulo,
Wonokromo.
“Kok
pindah sini, Mas?” tanya saya sembari menawarkan jabat tangan.
“Sewa gedung (di Pulo) udah habis,” jawab Sholeh. Ia membalas
jabat tangan saya.
“Kenapa milih di sini?”
“Biaya sewa di sana mahal. Sejuta
dua ratus sebulannya,” jawab pria 20 tahun itu terus terang.”Sedangkan di sini nggak dipungut uang sewa. Cuma biaya
operasional aja.”
Saya langsung menghitung. Kapasitas
gedung di Pulo cukup memuat 120 orang. Dengan harga tiket lima ribu rupiah,
uang sewa gedung itu tidak murah. Mengingat mereka hanya pentas seminggu
sekali. Dengan asumsi setiap pertunjukan tiket habis terjual, mereka hanya mendapatkan
Rp.2.400.000,00 per bulan. Belum biaya operasional,gaji pemain, dan lainnya.
Jam 9 malam tepat, pementasan di mulai. Saya kembali ke bangku penonton. Saya pilih deret paling belakang. Biar lebar panggung nampak seutuhnya. Belum juga penuh barisan bangku penonton. Kira-kira baru dua puluh kursi terisi. Masih nampak lengang. Tepat di depan panggung, para pemain gamelan sudah bersiap dengan perantinya. Sederhana. Namun,jadi bagian penting dari pertunjukan ini.
Seakan tak peduli sepinya penonton,
pertunjukan digelar. Gamelan dimainkan. Satu demi satu pemain naik panggung.
Busananya ala noni Belanda. Genap sudah
sembilan orang di atas panggung. Satu berdendang, yang lain gemulai menari. Itu mereka lakukan
bergantian. Kadang,mereka bernyanyi bersama. Suaranya melengking. Sekilas, tak
nampak mereka semua lelaki.
“Inilah dia, Irama Budaya dengan
lakon Pesugihan Wewe Putih. Selamat menyaksikan.” Suara narator yang tak nampak
wujudnya. Suara itu terdengar dari pengeras suara.
Kurden
panggung terbuka. Lambat tergulung ke atas, irama gamelan mengiringi. Lakon
dimulai. Tampak empat pria di atas panggung. Dua diantaranya berbusana wanita
Jawa, salah satunya Sholeh. Mereka bercakap Jawa
Timur-an, bahasa Jawa yang saya, juga Mahesa, tidak mengerti maksudnya. Penonton
yang paham, mereka tertawa terbahak. Bahkan terpingkal-pingkal.
Lakon
malam itu, Pesugihan Wewe Putih. Cerita tentang keluarga miskin di pedalaman
Jawa Timur. Si bapak ingin hidupnya berubah. Tanpa pikir panjang, ia
mengabdikan dirinya pada setan (Wewe Putih). Singkat cerita, si bapak pungkas
hidupnya tidak wajar. Kena adhab Ilahi.
***
Sakiya duduk tepat di
pintu masuk gedung pertunjukan. Pandangannya tertuju pada tiap orang yang
melintas. Matanya tajam. Bukan maksud apa-apa. Itu memang pembawaannya.
“Saya mulai menekuni ludruk sejak
remaja,” kisahnya dalam Jawa. “Waktu itu saya gelisah melihat ludruk Surabaya
kembang-kempis.” Saat itu, mulai Sakiya memanggil memori masa lalunya.
Kira-kira 20 tahun lalu, Sakiya dan
kawan-kawannya membentuk Irama Budaya. Awalnya dengan nobong (ngamen keliling). Mereka berpindah dari satu tempat ke
tempat lain. “Biasanya saya pindah tiap 6 bulan sekali dari daerah satu ke
daerah yang lainya di kota Surabaya,” Sakiya menyulut rokok.
“Seharusnya,
ludruk ini diprogramkan untuk mendapat dana pengembangan dari pemerintah,”
lanjut Sakiya. Deru asap berhembus dari mulut dan hidungnya. Dari kacamata
ketua Irama Budaya ini, pemerintah kurang peduli dengan ludruk. Perhatian
pemerintah berkutat pada kesenian modern saja. “Jangankan memberi dana, melihat
pertunjukan kami saja mereka tidak mau”, tutur pria yang akrab dipanggil Mak
Yah ini.
Tiket Masuk |
Irama
budaya berdiri sendiri. Tak mau terus menanti uluran tangan pemerintah, yang
tak kian datang. Memang, sesekali Sakiya mengajukan proposal ke Sub Dinas
Kebudayaan kota Surabaya. Pernah juga Ia memohon bantuan dana ke Dinas
Pariwisata Jawa Timur. Namun harapan itu jarang berbalas. Jarang sekali dana
cair. Untuk menanggulanginya, sering kali Sakiyah memakai uang pribadi.
Utamanya untuk pagelaran besar, seperti peringatan kemerdekaan Republik
Indonesia, Lebaran, juga peringatan 1 Muharam.
Ludruk, tulang punggung
ekonomi Sakiya. Tak bisa dibilang cukup, tapi terpaksa cukup. Dari ludruk, ia
dan kawan-kawan hanya bisa membeli rokok dan makan sehari-hari. “Kalau untuk
makan biasanya teman-teman anggota urunan
(patungan) dan masak bersama di Gedung Ludruk Irama Budaya ini,” Sakiya masih
menikmati rokoknya.”Ini kami lakukan untuk
melestarikan ludruk di Surabaya.”
“Pokoknya saya tidak rela kalau
ludruk di Surabaya hilang!” terang Sakiya. Semangatnya menggelora. Sakiya dan
Irama Budaya, akan senantiasa berdiri mempertahankan kesenian ini. Bertahan
dari arus modernisasi, yang kian lama kian deras. “Andaikata pemerintah tidak
mau menjaga keberadaan ludruk, biarlah kami (Irama Budaya) akan menjaga,
melestarikan, serta mengembangkan ludruk di Jawa Timur ini.”
“Tekad saya sudah kuat. Untuk
memelihara ludruk Surabaya ini agar tidak mati,” tuturnya penuh semangat. Api
rokoknya perlahan padam.