Jam enam pagi 20 agustus 2009, Sengkoni bersandar pada tembok pagar Pt. Candi Ngrimbi, pabrik pengolahan belerang di Banyuwangi. Jaket kulit hitam membalut badannya. Kedua tangannya dilipatkan di depan dada. Asap keluar lewat mulut,walaupun ia tidak sedang merokok. Bersandar dan kadang merokok, menuggu truk pengangkut belerang siap meluncur, menuju salah satu tambang terbesar dunia, Kawah Ijen.
Dua puluh menit kemudian, truk kuning siap membawa Sengkoni dan teman-temannya menuju Paltuding. Paltuding, kawasan dimana Kawah Ijen berada. Para penambang menyebutnya Pos Satu, karena pendakian menuju Kawah Ijen bermula di sana.
Para penambang bersiap, begitu pula Sengkoni. Dari tandu yang ujung – ujungnya berkantong anyaman bambu, hingga sejenis palu berujung runcing. Peralatan siap, ia pun berlalu dari Pos Satu. Jaket kulitnya ia lepas, diletakkan di salah satu kantong tandunya. Pria 32 tahun itu berdiri didepan gerbang selamat datang. Kakinya siap melangkahi jalan tanah berpasir. Jalan berliku, kadang menanjak kadang ndronjong. Jalan sejauh empat kilometer tak membuat hatinya ciut. Perjalanan hingga puncak memakan waktu sekitar satu jam.
Dari puncak, panorama kubangan hijau tousqa mencuri perhatiannya. Kubangan itu tak ubahnya danau berdiameter satu kilometer. Di pesisir danau dengan keasaman yang cukup untuk melarutkan pakaian itu, terhampar belerang yang menghidupi Sengkoni dan teman- teman penambangnya. Di puncak itu Pos Dua berada. Pos Dua adalah tempat dimana penambang menimbang berat belerang yang telah mereka dapatkan nantinya. Di puncak itu juga ada kantin untuk penambang singgah, santai sejenak sambil bercengkrama.
Perjalanan belum selesai sampai di puncak. Hamparan belerang yang membuat dapurnya tetap mengepul, mengharuskan Koni, panggilan akrab Sengkoni, menuruni jalan berbatu selebar dua meter. Tiga kilometer jauhnya. Langkahnya hati- hati, sesekali berhenti sekedar menyeka kringat yang sedari tadi membasahi dahinya. Seteguk air putih serasa cukup menghilangkan dahaganya. Bila bertemu sesama penambang, Sengkoni tak rancu untu menegur.
Sampai di pesisir danau, bukit kuning yang mengeluarkan asap abu-abu itu berada di depannya. Asap itu memaksanya menutup hidung dengan kain yang sudah ia siapkan. Kain itu ia basahi dengan air minumnya, lalu ia gigit. Cara itu dianggap bisa mengurangi sesak saat bergelut di bukit berisi larutan belerang itu.
Dengan palu berujung runcing, Koni memukul dinding bukit itu. Beberapa hantaman keras sanggup membuat lubang. Lubang itu menjadi pintu keluar cairan belerang dari perut bukit. Tak perlu menunggu lama, cairan itu berubah menjadi belerang padat. Beberapa kali Koni menghantamkan palu ke dinding dan memadatkan cairan belerang. Setelah satu jam, tandu yang ia pikul dari Pos Satu itu penuh belerang padat.
Tak berapa lama, Koni kembali di Pos Dua. Lima penambang lebih dulu sampai untuk menimbang belerang mereka. Mengantri karena timbangan disana hanya satu. Koni menimbang belerangnya. Tuas seimbang saat bandul timbangan berhenti di angka enam puluh. Berarti belerang Koni seberat enam puluh kilogram. Satu petugas di Pos Dua memberi Koni kupon. Kupon itu menerangkan berapa berat belerang yang di angkut masing – masing penambang. Kupon itu juga memberi gambaran berapa rupiah yang mereka dapatkan setelah menukar belerang di Pos Satu.
Merasa cukup, belerang itu ia pikul kembali ke Pos Satu. Menerka berapa belerang yang ia pikul itu dihargai mandor di Pos Satu. Per kilogramnya, belerang dihargai enam ratus rupiah. Paling tidak Koni bisa membawa pulang Rp. 36.000,00.
Jalan yang dilalui saat kembali sama dengan saat ia berangkat. Tanah berpasir sejauh empat kilometer. Namun beban yang ia pikul bertambah berat. Jaket hitam dan alat yang ia butuhkan untuk bekerja, ditambah belerang padat seberat enam puluh kilogram. Jalannya semakin gontai. Entah lelah macam apa yang Koni rasakan. Untuk orang umum, memikul beban seberat itu dalam kondisi diam sudah sangat menyiksa, apalagi Koni membawanya melintas jalan berliku. Pun upahnya tak sebanding dengan keringat,memar di pundak, dan otot-otot yang menegang.
Realita tak bisa dipungkiri. Bagi Koni apa lagi yang bisa dilakukan lulusan SMP seperti dirinya. Lapangan kerja sempit, bila ada paling tidak lulusan SMA yang dibutuhkan. Hidup sebagai penambang adalah pilihannya. Pilihan yang muncul karena tersudut tututan zaman.